Feeds:
Posts
Comments

Berawal dari sebuah kisah 50 Milyar rupiah yang sedang ramai diperbincangkan, tercetuslah ide di komunitas Gam Inong Blogger untuk membuat tulisan tentang “Andai Aku dapat 50 Milyar”. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana cara cepat untuk menghabiskannya 🙂 Karena ingatan saya langsung terbayang pada program realityshow “Uang Kaget”, dimana “korban” (umumnya kelas ekonomi bawah) diharuskan menghabiskan uang 5 juta IDR dalam waktu singkat. Reaksinya bisa ditebak? Panik dan gelagapan pegang duit. Biasanya mereka langsung belanja grosiran sembako, kebutuhan sekolah anak, dan basic needs lainnya.

Apakah saya akan beraksi hal yang sama dengan “korban” uang kaget? Mungkin ya, mungkin tidak…Nilai 50M itu juga sesungguhnya relatif. Bisa saja dinilai sedikit atau banyak. Tergantung nilai pembandingnya. Kalau ingin habis sekejap, ya langsung dibelikan barang mewah, propersi di kawasan elit, traveling dengan kelas VVIP, dan lain-lain. Tapi kok rasanya egois sekali ya? hehe…

Namun lagi-lagi, namanya juga “Andai Dapat 50M”…maka tak salah kan jika saya punya mimpi untuk membeli “tanah air” ?. Seperti hal yang digaungkan oleh ustad Yusuf Mansur #IndonesiaBerjamaah atau gerakan #IndonesiaBerdaya. Saya percaya bahwa uang itu hanya sebagai alat mencapai tujuan. Besar atau kecilnya nominal uang akan saya terjemahkan pada pengaruh “daya kemanfaatannya” atau circle of impact. Uang 50M memang bisa memanjakan1 orang, tapi sebaliknya juga berpotensi memberi manfaat kepada jutaan orang.

Hal-hal yang terpikir oleh saya jika  saya mendapat 50M IDR adalah:

  1. Beli kembali lahan sawah dan perkebunan yang dikuasai kaum kapitalis,
  2. ambil alih kembali hutan, pulau, tambang dengan harapan dapat dikelola oleh anak bangsa sendiri dengan mandiri,
  3. jadi pemilik stasiun TV- yang tidak mau menampilkan sinetron ala “upik abu-ibu tiri “bermata tajam, senyum sinis”,
  4. punya saham di maskapai penerbangan dan investasi untuk teknologi kedirgantaraan, dan
  5. akuisisi aset-aset strategis negeri.

Kira-kira cukup ga ya? Tapi tak ada salahnya, tolong di-aamiinkan ya 🙂

Goettingen, 2 Oct 2013

nb. mudah-mudahan rencana hajatan 50M itu tidak terwujud, jika alhasil hanya semakin memicu konflik atau pergesekan di masyarakat. Rasa aman, damai, bahagia itu priceless.

waktu

saya benar2 lagi ngerasa ada yang ga beres dengan hidup saya akhir-akhir ini. banyak waktu hidup saya yang malah bergantung pada orang lain. sebenarnya saya ga suka itu. saya mau bebas untuk mengatur waktu saya sendiri. itu idealnya. tapi tatkala harus berurusan dengan orang lain, dan kita butuh orang tersebut, maka yang ada justru cenderung mengalah dan mengorbankan waktu saya sendiri.

kalau dipikir2, mengapa saya mau repot untuk itu? toh saya juga tidak mendapat bayaran atau manfaat secara langsung..tapi saya tidak bisa menampik, bahwa ketika saya sudah memilih amanah maka tanggung jawab untuk melaksanakannya juga ikut menyertai. hal ini bisa jadi tidak ada pada semua orang. saya percaya bahwa kualitas diri saya akan teruji dengan cara memegang amanah, mengurus sebuah kepanitiaan contohnya.

Merasa kerja sendiri, letih karena tidak mendapatkan irama kerja yang supportif dan suhu kerja yang berbeda antar individu menyebabkan saya yang berada di puncak pimpinan harus turun untuk mengkawal kerja di lapangan. Padahal sistem manajemen seperti itu kadangkala tidak baik ya? Fungsi delegasi macet, berarti ada yang salah dalam proses kaderisasi ini.

Ya saya dan teman2 sekarang semuanya belajar. saya belajar memimpin orang lain, namun di saat yang sama saya berusaha sekooperatif mungkin saat dipimpin. saya tahu jadi pemimpin itu penuh tantangan. dan saya mau menjadi manusia yang “never crack under pressure”

 

salam hangat akhir pekan

Goe, 13.05.13

 

Alhamdulillah,  Sabtu 25 Agustus 2012 menjadi hari yang penuh rahmat. Seharian boleh dibilang, saya silaturahim terus di 2 kota yang berbeda. Bukan hanya kental dengan suasana Idul Fitri, tetapi juga atas nama “sensasi sebuah pengalaman”. Tiket Schoeneswochende (akhir pekan), 2 kota  yang cantik, undangan Grillparty dan secangkir persaudaraan yang hangat. Sempurna, bukan?

Atas nama “Asupan Ruhani”

Awalnya tak ada niat ke Duisburg. Tapi keputusan untuk ke sana berlangsung sangat singkat. Kurang dari 30 menit saja. Bermula dari kunjungan Hesty, teman ITB 2004 yang kini menempuh studi doktoral di Bochum, ke asrama CDC Dortmund. Ia bermaksud menjemput Rachmi, yang juga calon penghuni Bochum, ke kajian Muslimah Ruhr. Berhubung nanti sore ada agenda di Köln, tak ada salahnya tiket akhir pekan dipakai untuk 2 kota sekaligus. Saya pun segera bergegas. Maklum, sudah lama tidak mengkhususkan diri hadir ke pengajian, karena hidup nomaden dalam setahun terakhir 😦

Kajian bulanan ini rutin dilaksanakan oleh komunitas Muslimah Indonesia yang berdiam di daerah Ruhr (Dortmund, Bochum, Dusseldorf, dll). Lokasinya di rumah salah satu keluarga Indonesia di Duisburg, tepatnya kediaman keluarga Bu Nuning. Butuh 1 jam dari Dortmund menuju ke lokasi. Setiba di sana, acara sudah dimulai dengan tilawah. Masing-masing secara bergiliran membaca surat Al-Ma’un. Saya taksir sekitar 30 orang lebih hadir. Materi taklimkali ini  ialah tentang silaturrahim dan hubungan sesama manusia. Selaku pemateri adalah Mbak Marina, mahasiswa Statistik di TU Dortmund. Beliau menyampaikan pentingnya memaafkan kesalahan, menyambung hubungan silaturrahim sesama muslim. Dilanjutkan dengan sesi diskusi yang sangat hangat.

Bagaimana tidak hangat, jika ibu-ibu semua bersemangat mengajukan pertanyaan dan saling menimpali? Seru dan ramai sekali 🙂 Antusiasme itu saya nilai positif, karena banyak kasus yang sering terjadi dalam kehidapan sehari-hari dibahas di pengajian dengan pendekatan Islam. Seperti bagaimana memaafkan seseorang di masa silam, bagaimana mengkritik akhlak buruk saudara yang lebih tua usianya, dll.  Alhasil jam 13 pengajian usai dan ditutup secara resmi dengan foto bersama.

Kajian Muslimah Ruhr (doc. NH Susanty, 2012)

Ohya, tak disangka saya bertemu dengan alumni ITB juga, teh Ine BI angk.95. Beliau  salah satu pengrus pengajian ini.  Ada juga Zata ITS06 yang ada mutual friend dengan adik kelas di Tambang, Kak Mela asal Lhokseumawe, mbak-mbak, teteh-teteh, ibu-ibu, tante-tante yang baik, cantik,dan  ramah. Senang rasanya punya keluarga baru…

Laiknya acara ngumpul ala Indonesia, tak lengkap rasanya jika tanpa acara makan bersama. Alhamdulillah, kue, buah segar, lontong, soto, nasi buriani siap tersaji. Asli, cita rasa Indonesia. Sesuatu banget ya di siang yang rintik-rintik 🙂

Terpesona di Köln

Saatnya melanjutkan hari. Sesuai agenda, saya akan ke Köln guna menghadiri acara Halal bil halal mahasiswa Aceh NRW. Atas undangan Kak Nova, kami ber-7 penerima beasiswa asal Aceh mensambangi salah satu kota tua di NRW. Kali ini temanya Grillparty alias barbeque. Cocok sekali diadakan di Sommer karena alam yang bersahabat dan cuaca yang mendukung untuk beraktifitas di luar rumah. Berhubungan baru pertama kali ke Köln, ada rasa semangat penjelajahan muncul 🙂

Dan memang benar. Setiba di Köln Hbf jam 16, saya menyadari arus manusianya sangat ramai. Hilir mudik, jangan sampai meleng karena nanti saya bisa berpisah dari rekan-rekan mahasiswa Aceh. Pengumuman di stasiunpun dalam 3 bahasa, yaitu Jerman, Inggris dan Perancis. Wajar saja, toh ini kota besar. Begitu keluar dari stasiun, bangunan klasik abad pertengahan hadir di depan mata. Dom!

Dom (doc. Umam, 2012)

Butuh setengah jam untuk mencari dimana posisi stasiun U-Bahn (kereta bawah tanah). Ternyata stasiun untuk arah yang kami tuju, ada di luar Hbf. Maklum, masih cupu  untuk soal transportasi di kota besar :P. Kami butuh 2 kali ganti kereta untuk tiba di lokasi. Saat berada di halte, kami berkenalan dengan sekitar 7 orang, rombongan peserta seminar asa UGM. Lucunya, saat menunggu masing-masing langsung punya insting bahwa  kami dan mereka adalah orang Indonesia 🙂

Es ist Rhein!

Setelah turun dari kereta, kami harus melanjutkan lagi perjalanan dengan berjalan kaki. Begitu tampak pemandangan sungai, jembatan, sisi tepi sungai, rerumputan dan aktivitas orang-orang, sontak kami melangkah dengan semangat. Pemandangannya indah dan damai. Ternyata kami sudah berada di dekat Hafen Köln Deutz dan di tepi sungai Rhein…Pantas saja lokasinya sangat difavoritkan untuk refreshing. Ada yang pesta barbeque, olah raga, jalan-jalan, main layangan, hingga sesi pemotretan wedding 🙂

Tepi Sungai Rhein (doc. Umam, 2012)

Anak-anak IMAN sudah berkumpul dan mulai menset pemanggangan. Butuh waktu 30 menit lebih untuk membuat “arang”nya menyala. Sebenarnya bukan arang dari kelapa, tapi sejenis batubara khusus untuk grillen. Karena sistemnya potluck, maka masing-masing mengeluarkan bahan. Ada yang bawa jus, keripik, daging ayam, daging sapi, saus, roti, paprika, dll.

Trio “3 seribu” (Doc. Marlina, 2012)

Selagi para lelaki menyiapkan perapian, saya dan beberapa teman mengobrol ringan plus ngemil. Salah satu tema pembicaraan kami yaitu tentang adaptasi kuliah dan manajemen waktu di Jerman. Ceile, gaya kali pun :). Selaku narasumber Kak Nova. Dari beliau, kami mendapatkan petuah antara lain: jangan menunda buat tugas, tetap gaul 🙂

Matahari bersinar cerah, angin sesekali menyapu dingin. Sensasinya sungguh berbeda. Saat berwudhu dari air sungai, lalu shalat Ashar di alam terbuka. Di tepi Rhein pula. Subhanallah…Tak lupa saya tetap jepret sana-sini buat reportase live via BBM kepada kakanda Reza Kamilin tersayang, yang walau jauh di mata tetap dekat di hati 🙂

Bergantian dengan Ai, Mira, saya ikut memanggang ayam, daging steak dan sosis. Tapi diakhir saya mencoba berkreasi dengan sate ceria. Ada kombinasi sosis, paprika, jamur dan bawang bombay. Ceria kan?

Panggang Sate Ceria (Doc. Marlina, 2012)

Beres panggang tahap I, saatnya makan bersama. Steak di dalam brotchen (roti) dan menu lainnya. Yup, namanya juga grillen, ya minus nasi, banyak daging 🙂

Menu Utama (doc. Marlina, 2012)

Enak ya? Apalagi sate cerianya 🙂 Suasana kebersamaannya sangat terasa. Tak hanya kami yang mahasiswa, tapi ikut serta satu keluarga Aceh yang sudah lama menentap di Cologne dan 2 rekan Aceh dari Belanda. Kawan baru lagi, kelurga baru lagi.

Gute Apetit (doc. Marlina, 2012)

Hidup Silaturrahim! Hidup NRW! (doc. Marlina, 2012)

Akhir pekan yang menyenangkan 🙂 ! Terima kasih semuanya…

Senja di Rhein (doc. Marlina, 2012)

Alhamdulillah, sudah 3 pekan saya berada di negara dengan julukan der Panzer. Yup, tepatnya 3 Agustus 2012 mulai merasakan hawa Sommer di kota Dortmund, Jerman. Untuk kesekian kalinya, siang yang cerah ini saya dan teman-teman Aceh memutuskan untuk ke daerah Zentrum. Daerah ini adalah zonanya belanja. Toko-toko dengan meriahnya menyambut pembeli dengan tulisan sale, sale dan sale. Aneka produk mulai dari pecah belah, ATK, fashion, restoran, hingga komedi putar untuk anak-anakpun hadir memeriahkan suasana. Tak heran jika kawasan ini sangat ramai dikunjungi dan berpotensi untuk menjadi meeting point, khususnya akhir pekan.

Setelah selesai dengan agenda mendaftar SIM card dari suatu provider hp, kamipun beranjak pulang. Tapi tak lama berselang, ada mobil van besar yang sedang parkir. Ternyata itu adalah mobil Deutsch Rote Kreuz yang sedang melakukan aktivitas Blut spenden atau kegiatan donor darah. Terang saja, saya yang hobi donor darah merasa terpanggil untuk ikut serta :).

Blutspendemobil

Dari kami berlima, hanya saya dan Sayed yang tertarik untuk donor darah. Apalagi ini pertama kalinya bagi kami untuk donor darah di negara lain. Kami pun menghampiri seorang ibu petugas yang stand by di counter depan. Sayangnya beliau tidak cukup mahir berbahasa Inggris dan kamipun belum cukup lancar bahasa Jermannya :). Setelah berpikir, diam..pikir dan diam lagi, akhirnya dengan segenap kemampuan yang ada, saya bertanya:

“Was sollen wir tun, Blut zu spenden?

(apa yang harus kami lakukan untuk donor darah?) Padahal aslinya mau tanya “Apa syarat menjadi pendonor darah? Tapi kalimatnya ribet, ditambah tidak ada perbendaharaan kata yang cukup 🙂

Beliaupun langsung nyerocos..bla..bla..bla..Ngerti? ada, walau sedikit. Intinya si petugas harus bertanya dulu ke rekannya selaku dokter di mobil. Sekalipun penggunaan bahasa Inggris beliau tidak mumpuni, tapi dari bahasa tubuhnya menyiratkan bahwa ia adalah pribadi yang bersahabat. Tak lupa saya sampaikan bahwa saya sudah cukup sering donor darah di negara asal, Indonesia. Selang beberapa saat, ia kembali dan menjelaskan bahwa kami perlu melakukan tes malaria sebelum menjadi pendonor. Sayangnya hasil uji tes tsb baru dapat diketahui setelah 14 hari.

OK, karena sudah terlanjur niat donor darah dan bersedia menjalani tes, maka saya dan Sayedpun mengantri giliran dipanggil ke mobil. Sang petugas berkata bahwa hari ini cukup ramai dan antrean pendonor terus penuh. Wah, antusiasme yang lumayan tinggi! Matahari sudah tidak terlalu terik dan kami menunggu dengan sabar. Tepat pukul 15.45 pintu van terbuka, saya masuk sedangkan Sayed masih di luar menunggu antrian. Ohya, untungnya ibu petugas sudah mengatakan bahwa dokter yang akan memeriksa bisa berbahasa Inggris.

Dari pengamatan awal, dokter ini seusia saya. Sedangkan interior dalam mobil cukup apik. Ada ruang pendaftaran dan data, pemeriksaan, dan ruang donor darah. Saat itu ada 2 orang yang sedang menunggu antrian dan 4 orang yang sedang disedot darah 🙂

Setelah menyapa, saya sampaikan bahwa “Ich kann ein bisschen Deutsch sprechen” alias saya cuma bisa bahasa Jerman little-little 🙂. Ia pun meminta saya memperlihatkan pasport dan mencatat data diri. Saya sih sudah semangat 45 menjalani tes, sudah ngebet donor euy!

Saat mengamati paspor, terjalinlah percakapan antara saya dan dokter.

Dokter1: “Sudah berapa lama di Jerman?

Saya : “3 pekan. Tapi saya di Dortmund selama 2 bulan saja untuk keperluan les bahasa (Sprachkurs). Selanjutnya studi di Goettingen.

Kemudian dia berbicara kepada rekannya, seorang bapak paruh baya, apakah donor ini bisa tetap berlanjut di Goettingen.

Dokter2: Berapa lama kamu akan tinggal di Jerman?

Saya: 2 tahun

Dokter2: Kamu harus sudah tinggal di sini 4 tahun, lalu menjalani tes malaria. Baru setelah itu bisa mendonorkan darah.

Saya: Whaatt?! (dalam hati)

Setelah itu tak perlu waktu lama, saya keluar sambil berpikir. Kok bisa ya? Haha, ternyata ribet ya untuk urusan donor darah di negeri orang! Saya tidak tahu persis apakah memang sudah seperti itu aturannya? 4 tahun gitu loohhh…Ya, mungkin saja pemerintah Jerman menerapkan standar keamanan yang sangat tinggi dalam hal ini. Apalagi begitu tahu calon pendonor dari Indonesia, negara yang masih bergelut dengan malaria dan penyakit tropik lainnya.

Sebelum meninggalkan lokasi, saya pamit ke ibu petugas yang ramah itu dan menjelaskan bahwa sepertinyanya selama studi di Jerman, saya tidak ada peluang untuk jadi pendonor. “Ahh, sayang sekali..Tapi kamu bagus sekali, sudah bisa berkomunikasi dengan saya, pakai bahasa Jerman pula! Hehe..saya dan Sayed senyum mesem, nyengir. Untung saja beliau tidak sempat tahu, bahwa kami sudah 8 bulan lebih belajar Jerman tapi kemampuan sprechen/speaking masih amburadul.

Ya, dan alles gute. Tschϋss!

note: Saya tetap penasaran,apakah memang harus 4 tahun? Semoga tidak:)

Komitmen untuk konsisten itu gampang-gampang susah ya? Pada suatu waktu ia mudah terucap dan satu waktu pula ada seribu satu alasan yang menghalangi. Apalagi untuk perkara kebaikan. Mau rutin tilawah? sibuk! Olahraga teratur? Ga sempat cuy. Baca buku untuk menambah pengetahuan? Boro-boro..tugas kuliah saja menjelang deadline. Kemudian yang ada hanyalah pembenaran-pembenaran, alasan-alasan sehingga pada siang 09.03.12, saya kembali tersadar bahwa…itu semua bisa diakali.

 Hasrat yang tertunda

“Jadi kita pergi Feb? Tanya Epi, rekanku di Goethe Institut.

“Ja, gehen wir! (kira-kira artinya yuk mari). Ya,bertiga saja. Saya, Epi dan Ai.

Jarak dari Sam Ratulangi ke TIM kami tempuh dengan berjalan kaki kecepatan sedang. Suasana cukup ramai. Pasar kaget yang selalu mengiringi hari Jumat dengan segala rupa-rupa benda turut meramaikan suasana. Kami merasa beruntung sekali ketika pejalan kaki lebih leluasa berjalan dibandingkan dengan mobil-mobil yang frustasi terjebak kemacetan di sekitar Cut Mutia.

Tak butuh waktu lama, 3 tiket sudah di tangan. See…this show will be a private show :-D. Penontonnya cuma 5 orang!

Film Negeri 5 Menara. Film yang bukunya saya sudah baca setahun yang silam dan kali ini saya menikmati filmnya. Cerita hebat tentang penuntut ilmu, Alif dan Sahibul Menara.

Saat semuanya jadi satu

Maaf, bukan saya bermaksud spoiler. Tapi percaya deh, saya menilai film ini “sangat direkomendasikan” untuk ditonton. Apalagi untuk para perantau. Suasana konflik batin seorang Alif yang memilih untuk memenuhi keinginan orang tuanya bersekolah di pesantren dan menunda mimpinya ke SMA, sangat terasa. Ayahnya bela-belain menjual kabau satu-satunya yang selama ini menggarap sawah, demi biaya pendidikan Alif di Jawa. Langsung deh saya teringat masa-masa saya galau memilih tujuan kampus, kampus jaket kuning atau yang di jalan Ganesha dan pengorbanan orang tua saya 😥

Ada juga cerita seru ala anak asrama Pondok Madani, seperti Alif dan 5 sohibnya yang beraneka ragam karakternya, guru pamong yang bijak, peraturan tidak boleh nonton TV, mencuci baju sendiri, pemadaman lampu karena gensetnya lebih sering ngadat dari pada benernya, lomba pidato bahasa Inggris antar siswa baru, ngecengin keponakan Pak Kyai, ramai-ramai kena hukuman dari senior divisi kedisiplinan, ikut berbagai unit eksul dan masa uji cobanya, antusias dan kreativitas yang teruji di malam pertunjukan seni dan masih banyak lagi. Ah, semuanya  kembali menghadirkan memori saya tentang MOSA, SMA tercinta saya yang juga system boarding school. Pas nonton, langsung nyengir, asli MOSA banget dah! Memang tak salah jika masa-masa SMA adalah masa yang paling indah, sampai-sampai ada lagunya kan? Hehe..

Tapi…film ini bukan hanya cerita-cerita gokil remaja tanggung! Pada akhirnya saya, Ai dan Epi diam-diam menangis haru. Pokoknya air mata tumpah tak tertahankan, emosi penonton larut, saat kalimat sakti MAN JADDA WA JADA itu menunjukkan powerfullnya pada seorang Baso, Alif dan 4 rekan lainnya. Intinya Man Jadda wa jada, siapa yang sungguh-sungguh akan berhasil!

Get in the Real Life

Tak terasa 2 jam sudah kami menonton. Ada suatu perasaan yang muncul, menyelusup dalam hati. Entahlah saya menyebutnya apa. Semacam tekad bahwa..ayo, kamu bisa!

Bahwa MIMPIlah yang tinggi, cukupkan usaha dan biarkan Allah yang mengatur kelanjutannya.

Kalau kata ustad Salman-nya film Negeri 5 Menara, bukan karena perkara parang yang tumpul kayu itu bisa patah, tapi karena terus-menerus ditebas akhirnya ia terbelah jua. Bukan semata-mata perkara modal turunan (pintar, cakep, kaya dll) yang bisa buat sesorang berhasil, tapi lagi-lagi sebesar apa kemauan, usaha orang tersebut untuk mau mewujudkan mimpi-mimpinya.

Sepulang dari sana saya ingin segera menuliskan pengalaman tadi dalam bentuk notes. Karena ini termasuk agenda saya, “komitmen dan konsistensi” untuk menulis, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Selain itu masih ada sederetan mimpi, proyek kebaikan dan tugas negara lainnya yang siap diwujudkan 🙂

lelah-lelah dahulu bersenang-senang kemudian 
tiada suatu yang yang besar tanpa perjuangan yang hebat
man jadda wa jada…

Tidak menyia-nyiakan kesempatan! Sepertinya konsep ini yang berlaku bagi sekelompok anak muda seperti saya dan teman-teman, alumni resimen mahasiswa Batalyon I/ITB. Jika saja ada 5 orang atau lebih berkumpul di Bandung, maka langsung saja terbetik ide untuk berkegiatan bersama. Mulai dari yang sederhana, seperti makan bersama, diskusi, silaturahim ke alumni senior hingga kegiatan yang hari ini saya lakukan. Yup, tracking!

Sudah lama hasrat berpetualang memanggil-manggil. Jadi rasanya saya sudah lama tidak berjalan kaki sejauh masa-masa latrak Diksar menwa. Sebulan yang lalu saya kembali absen ke Rinjani, sedangkan misi tsb dilaksanakan oleh Reni, Galuh dan Surya.  Dan hari ini saya beserta 6 orang teman lainnya memutuskan untuk jalan ke Punclut, Bandung Utara. Mereka adalah Febi, Anggun, Enrico (ekek 39), Reni, Surya, Galuh (ekek 41) dan pak Nomo (senior). Lokasi yang tak jauh dari kampus ITB. Ide tercetus kemarin malam, sedikit koordinasi, laksanakan!

Rute dari ITB ke terminal Dago awalnya mau naik angkot. Tapi kami merasa lebih seru jika jalan kaki saja. Alhasil 30 menit kami sudah tiba di terminal Dago dan siap memulai perjalanan.

Pertama-tama…turunan tajam. Enak dong!

Lalu tanjakan melingkar..napas mulai pendek..huf..huf..Kabut yang menyelimuti mulai samar berganti siraman matahari pagi yang hangat. Tak hanya kami saja yang tracking, namun banyak pula orang-orang lain. Terutama para biker (sepeda) yang melintas bergerombolan.

Supaya tetap semangat, foto-foto dulu kakak 😀

Pose 7

Pemandangan di sekitar cukup asri walau sudah ada pembangunan di sana-sini. Jalanan terus menanjak. Kami mulai berpencar. Pak Nomo, Surya dan Galuh memimpin di jalur depan. Saya di tengah. Sedangkan Rico dan Reni mulai kepayahan. Maklum reni baru saja pulih dari typhus, namun bela-belain tetap ikut. Sampai-sampai (ex) Komandan Anggun turun tangan untuk menyemangati anggota. Ayoooo..maju terus!

Ayo..maju terus!

Jalan datar jadi pit stop untuk mengatur napas dan menetralisir detak jantung. Namun itu tak lama kawan karena tanjakan selanjutnya menanti. Rasa pegal menjalar di kaki. Tapi tak ada istilah berhenti…lanjut!

Saya menatap ke belakang. Dua rekan saya, Reni dan Rico akhirnya memutuskan nyambung pakai angkot hingga ke atas. Tak apalah, jangan memaksakan kondisi. Sayangnya saya luput menjepret mereka yang melaju dengan angkot dago 🙂

Di sisa-sisa tanjakan, saya mulai kepayahan juga. saya memilih untuk jalan pelan, berhenti 5 detik, ambil napas dan melangkah lagi. Hehe..payah ya? Maklum sudah lama tidak latihan fisik secara rutin. dan tralaaaaa… 10 langkah akhirnya sampai juga di jalanan datar.

Phiuuufff…rehat dulu. Pasukan bertujuh sudah komplet. Baru setelah itu kami mencari saung untuk makan pagi. Ternyata, kami butuh 2 jam untuk tiba di Punclut.

Kalau bicara soal kuliner, deretan saung sudah menanti. Makanan khas sunda dan surabi. Menu-menu yang ditawarkan mulai dari ayam, ikan, pepes, tahu, tempe, tutug (keong), oncom dan banyak lagi. Akhirnya kami merapat ke sebuah saung. Suasananya ramai..berarti makanan dan servisnya enak.

Semerbak baunya

Walaupun tidak dapat tempat yang pojok, tak mengurangi kenikmatan sarapan. Apalagi untuk Reni yang langsung ditawari mencoba tutug. Disajikan dalam kuah rebus dan bumbu-bumbu, cara makan keong ini bisa menggunakan tusuk gigi untuk mencapai dagingnya. Atau bisa juga dihirup. Sruluuup…

Menu beras merah dan lauk pauk tersaji. Lalapan dan sambel pun tak ketinggalan. Pasukan 7 ini pun makan dengan lahapnya. Kesegaran kelapa muda membuat segalanya menjadi komplet. Biar seru, saya kembali jepret-jepret lagi dan meminta teman untuk update status. Hehe…penting kan? 😀

Rico beraksi!

Lepas santap dan berbincang-bincang, saatnya melanjutkan kembali perjalanan. Kali ini kembali jalan kaki. tenang saja, jalur pulang adalah menurun melewati pasar kaget Punclut-Ciumbeuluit. Dan persis! Hari Minggu pedagang, pembeli, orang yang lalu lalang sangat banyak. Jalanan yang 2 arah terkadang membuat para pengendara kendaraan harus mengantri sangking ramainya orang.

Ramainya orang-orang

Saya cuma cuci mata saja. barang-barang yang didagangkan adalah sayur, buah, jajanan pasar, aksesoris, barang pecah belah, dll. Seperti Gasibu mini saja. Uniknya per 10 meter ada band lokal yang sedang tampil. Mereka terus bernyanyi dengan sound system seadanya, statis di tempat dan di depan mereka terdapat kotak saweran. Mengharap rupiah orang-orang mampir di kotak tersebut.

Dagang sayur

Wah, sangking kecilnya jalan, sudah dipenuhi penjual plus orang yang lalu lalang. Praktis kecepatan jalanpun menyesuaikan. Akhirnya pukul 11 kami mencapai jalan utama Ciumbeluit.

Perjalanan masih diteruskan dengan jalan kaki. Lagi-lagi karena jalanannya menurun. Cuaca pun mendukung. Hangat, tidak panas. Tanpa terasa sudah memasuki simpang Gandok dan mural Siliwangi. Lihatlah..masih segar bugar semua kan?

Tetap seger, semangat!

Alhasil, hari ini 4 jam untuk jalan kaki dengan sedikit istirahat. Luar biasa deh! Spontan dan menyenangkan! Bravo untuk Yon I/ITB! Semoga tetap sehat dan kompak.

Dan Aku Cemburu!

Hari ini hati saya tergerak untuk menulis. Tepatnya mengisi kembali blog saya yang sudah sebulan kosong tanpa postingan baru. Tenang saja saudara-saudara, walaupun sudah jarang menulis kegiatan membaca dan diskusi tetap jalan  🙂

Salah satu bacaan yang sedang saya nikmati adalah novel genre sejarah dengan seting Aceh masa kolonialisme. Judulnya Sabil. Saya sudah lama 2 bulan naksir ingin membeli/membacanya namun baru tercapai seminggu yang lalu ketika saya berkunjung ke Bandung.

Novel Sabil

Pertimbangan untuk membeli novel ini:

1. Novel ini memberi kesan pertama yang bagus untuk saya. Tema yang menarik, cover bagus dan tebal (700an halaman lho). Yup, that’s right! rasanya puas kalau menaklukkan novel bermutu dan tebal. Uangnya berasa worthed 🙂

2. Setingnya di Aceh dan terinspirasi dari Hikayat Prang Sabil. Wow, kalau saja teman-teman pernah membaca dan paham artinya, bakal merasa merinding gimana gitu. Pesan heroiknya sangat kentara. Hikayat yang ditulis pada abad ke-17 Masehi lahir untuk menguatkan semangat juang para rakyat Aceh dalam berperang. Jujur, saya belum pernah baca teks Hikayat Prang Sabil dengan utuh.

3. Budget masih mencukupi, soalnya ada diskon 30% #mata-ga-nahan-lihat-diskon

Nah, apa yang membuat saya kagum, amazed, salut dan cem.bu.ru adalah sang penulisnya masih berusia 25 tahun. 11-12 dengan saya. He is still very young! Sekalipun saya baru baca sampai halaman 200, novel ini mampu memukau saya. Diksi, konflik, struktur dan tokoh-tokohnya memang nama-nama pejuang di Aceh. Berasa belajar sejarah, euy!

Menyadari usia saya hanya berselisih 6 bulan lebih muda, saya tambah salut. Apalagi Sabil ini adalah novel dwilogi. Wow, kebayangkan ntar novel ke-2 setebal apa? dan ternyata pengarangnya Syaf Muhammad Isa adalah orang Sukabumi. Ckckck…tapi gaya bahasa meu-Aceh that. Pastinya ia melakukan riset yang dalam ya? Kejutan selanjutnya, ia sebelum ini juga sudah menerbitkan novel dengan tema sejarah pula. Oww…ini dia orangnya.

Nah, saya yang masih terkagum-kagum akhirnya memutuskan chat dan berbagi perasaan ini kepada seorang teman. Ia penulis juga, tepatnya penggiat citizen journalism.

Intinya saya cerita kekaguman saya pada karya novel tsb sekaligus kepada pengarangnya. Dan tahu apa yang teman saya katakan?

chat

Mari saya pertegas kata-kata teman saya ini:

Jangan iri apa yg orang lakukan dgn mnginginkan melakukan hal yang sama

Apa yg mreka perbuat,adalah konsistensi dr hasil beberapa taun

Jadi, mulailah konsisten dgn passion kita, dan kita bisa membuat mahakarya untuk umat manusia kelak 

Begitulah wejengannya malam ini. Huff…ternyata lagi-lagi saya tersadar, tidak boleh hidup dalam standar orang lain. Artinya masing-masing orang pasti akan mencapai suatu kualitas hidup tertentu dari sebuah proses kontinu, mendalam dan pasti. Bukan ujug-ujug jembret, sim salabim…jadi karya yang instan. Bisa saja itu terjadi, tapi biasanya akan cepat pula karya itu hilang tak berbekas.

Oleh karena itu, tetaplah fokus dengan passionmu! Waktu adalah variabel yang akan memantaskan diri ini untuk bertemu dengan sebuah momentum tepat bernama sukses.

Di belakang rumah saya sengaja ditanami 6 pohon. Saya menyebutnya pohon pocong 😀 Hehe…soalnya bentuknya panjang menyerupai pocong. Pohon-pohon itu ditanam oleh bapak saya sejak 3 tahun yang lalu. Alasannya sederhana, untuk penghijauan namun tidak merusak bangunan rumah. Ada yang bisa memberitahukan apa nama pohon ini?

Pohon Pocong

Jika teman-teman jeli, terlihat sesuatu yang signifikan dari ke-6 pohon itu. Ya, tinggi pohon yang paling kanan melampaui saudara-saudaranya. Pocong paling imut saja 1,5 kali dari tinggi badan saya (165 cm). Apalagi pocong yang bongsor itu. Padahal mereka ditaman bersamaan lho…

Saya pun tertarik melakukan pengamatan lebih lanjut. Kali ini terhadap diameter pohon. Sampel pohon adalah si bongsor 1 (paling kanan) dan si bongsor 2 (kedua dari kanan). Saya menggunakan ranting pohon sebagai pengganti penggaris. Dan hasilnya…

diameter bongsor-1

bandingkan..

diameter bongsor-2

Sedikit mengingat pelajaran biologi, tumbuhan adalah makhluk hidup yang geraknya terbatas. Kelangsungan hidupnya sangat bergantung dari ada tidaknya suplai makanan, hara di sekelilingnya. Apalagi pohon pocong ini berciri-ciri monokotil.

Selama ini pohon pocong itu tersirami alami dari air hujan atau sesekali saya menyiraminya dengan air yang ada di selokan. Observasi di lapangan menguatkan hipotesis saya bahwa pohon pocong itu tumbuh  paling jangkung karena lokasinya yang strategis. Dekat dengan selokan air kotor rumah! Ya wajar saja, mungkin jangkauan akarnya lebih dekat mencapai air dibandingkan saudara-saudaranya. Jadilah pertumbuhannya paling mencolok dibandingkan yang lain.

Tak lama kemudian, saya berpikir. Alangkah kasihannya pohon pocong lainnya. Mereka pasrah berpostur pendek, kurang disiram. Namun yang namanya makhluk Allah yang satu ini, tidak bisa demo kepada pemiliknya, apalagi mengajukan “putus hubungan” jadi pohon, kecuali sampai ajalnya tiba dari Yang Maha Kuasa.

Lain halnya dengan manusia. Manusia diilhami dengan akal pikiran, kemampuan untuk memilih alat indera dan akal (Surat 16:78;  surat 30:8). Karena diberi akal itulah maka manusia harus mempertanggungjawabkan segala keputusannya

Selain itu manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk (At-tin:4). Tapi begitu dihadapkan pada kondisi hidup yang tidak ideal, mereka mengeluh seolah-olah insan termalang di dunia. Padahal peluang untuk hijrah dan berubah itu selalu ada kan? Asal masih ada nyawa di badan dan fungsi otak masih bekerja..semuanya bisa dilakukan. Anehnya, semua hal dikeluhkan. Cuaca panaslah, lagi bokeklah, galau, bete, kondisi orang lain dan emosi-emosi negatif lainnya. Kurang bersabar dan syukur kali ya?

Maka tak salah apa yang tertera dalam Al-Quran bahwa manusia sudah bawaan badannya suka mengeluh (Surat 70:20). Upss…Am I one of that person?

Hari ini saya tafakur alam dari pohon pocong. Tentang bersyukur dan bersabar.

Apa definisi artis bagi seorang pelajar MTsN (setingkat SMP) kelas 3? Mungkin sosok yang sering tampil di TV atau media massa lainnya. Namun buat saya, ngefans artis terparah cukuplah hanya kepada boyband asal Irlandia, Westlife. Setelah itu, semuanya berasa biasa saja.

Tahun 2000, segala sesuatu yang namanya keramaian, acara akbar selalu mendatangkan antusiasme. Walaupun acara tersebut berlangsung di MAN Banda Aceh, namun anak MTsN tetap bersuka cita menyaksikan acara tersebut. Maklumlah, MTsN dan MAN I Banda Aceh masih satu komplek.

Buat saya, tokoh-tokoh yang datang itu adalah spesial. Saya mengenali tokoh-tokoh itu, mengagumi karya dan tulisan mereka.  Even itu bertajuk ”Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” yang disponsori oleh Majalah sastra Horison dan Ford Foundation. Bahkan H-2 saya sudah punya siasat jitu. Saya harus bisa bertemu dengan mereka!

Anak-anak kelas unggul III-1 siang itu kurang bersemangat mengikuti les sore. Entah sudah bosan belajar atau memang lagi sedang kurang motivasi. Wali kelas, Pak Zul bijak dapat menangkap tanda-tanda tersebut. Saat bertanya kepada para siswa, saya langsung memohon agar hari ini libur saja. Alasannya kami ingin menonton acara SBSB di MAN. Dan beliau mengabulkan. Singkat kata saya langsung menghambur ke pekarangan MAN.

Wah, sudah ramai. Dengan konsep acara outdoor, kursi-kursi dipenuhi oleh siswa MAN dan posisi saya sebagai bocah sekolah sebelah cuma bisa berdiri di sekitar panggung. Dua buku sudah saya pegang erat. Saya yakin pengarangnya pasti datang. Beliau muslimah yang berdarah Aceh, aktif menulis cerpen di Majalah Annida, sangat inspiratif. Saya yang sudah membaca majalah remaja islami sejak kelas I MTsN tentu saja penasaran dengan sosok beliau. Yup, benar sekali. Beliau adalah Helvy Tiana Rosa (HTR).

Helvy Tiana Rosa

Waktu berjalan lambat. Belum ada tanda-tanda pembicara datang. Jadilah saya duduk beralas tanah di tepi taman. Posisi saya strategis,  hanya 2 m dari tangga panggung. Ini membuat saya gampang menatap panggung tanpa harus berdiri dan berjinjit. Tiba-tiba, suasana semarak dan penonton riuh sekali. Tak lama iring-iringan pembicara muncul. Mata saya sibuk mencari sosok yang saya maksud. Waahhh, itu dia yang baju pink. Sreett, pas sekali melintas di depan saya. Sangking senangnya, saya freeze seketika.

Memang begitulah perasaan orang (fans) yang membuncah saat bertemu pujaannya. Memang sih ga sampai histeris segala :-). Namun, jika pembicara yang hadir sekaliber Helvy TR, Rendra, Pak Taufik Ismail, isn’t that amazing? Nah, begitulah saya. Khusyuk mendengar penjelasan tentang sastra dari para pembicara. Terlepas saya yang belum mengerti benar dengan apa yang mereka perbincangkan. Tidak masalah! Yang penting rame.

Rangkaian acara mulai berjalan dan tanpa terasa jam 17.15 sudah menuju akhir acara. Saya mulai bersiap. Seperti tak mau kehilangan momen, saya mulai beringsut ke sisi kiri panggung. Tepat saat pembacaan doa dimulai, saya mulai mengacungkan novel Ketika Mas Gagah Pergi. Pas sekali Mbak Helvy duduk paling ujung.

“Sebentar ya dek. Nanti saya tanda tangan”, ucapnya sambil tersenyum.

Pas selesai doa, pas novel saya berpindah tangan. Dalam waktu singkat, novel itu sudah dibubuhi tanda love dan huruf HTR. Wah, senangnya saya waktu itu. Berbunga-bunga. Novel Mas gagah adalah novel pertama yang bela-belain saya beli karena ceritanya yang te-o-pe-be-ge-te. Ibrah ceritanya sampai membuat saya terharu. Bahkan mama saya juga ikut menangis saat membaca Mas Gagah. Nah, tentu saya berasa sangat beruntung buku itu langsung ditanda tangani oleh Mbak Helvy.

Sumber foto: goodread.com

Tak lama, mulai banyak yang mengikuti apa yang saya lakukan. Ada yang bawa buku dan minta ditanda tangan. Tangga panggung dipenuhi oleh massa siswa yang sangat antusias ingin bersalaman, berfoto bersama dsb. Akhirnya panitia terpaksa membentuk formasi mengamankan para pembicara. Pembicara meninggalkan panggung dan banyak siswa MAN yang kecewa karena tak tercapai hasratnya.

Sore muai beranjak maghrib. Saat dijemput di sekolah saya pun bercerita kepada ibu saya tentang pengalaman tadi. Sembari pulang ke rumah, kami sekeluarga sepakat bahwa malam ini akan makan di restoran. Ini lazim kami lakukan tiap malam minggu. Tak perlu lama, meluncurlah kami sekeluarga ke Mie Razali. Kedai mie aceh yang fenomenal.

Mie Razali

Namanya juga rumah makan..ya ramai dengan orang-orang. Setelah menempati tempat duduk, mata saya tertumbuk pada sekelompok orang yang sedang makan mie juga. And guess who? Itu adalah rombongan sastrawan tadi. Wuss..kali ini mereka lebih ramai dan agaknya full team, termasuk Mas Emha Ainun dan Mbak Novia Kolopaking. Alhamdulillah senang sekali rasanya.

Setelah melihat situasi yang mendukung, saya menghampiri dan berkenalan. Awalnya sih dimediatori ibu saya. Sambutan mereka sangat ramah dan kami berbincang akrab. Dan bahkan saya bisa mendapatkan tanda tangan Pak Taufik Ismail, WS Rendra dll komplit..plit. Wah, special edition! Kalau rejeki memang ga lari kemana ya?

Kini, novel-novel itu sudah hilang dibawa tsunami. Namun memoir itu tidak akan pernah hilang.

Itulah #CeritaPertama saya bertemu artis. Nantikan kisah #CeritaPertama selanjutnya. Salam

Binatang apa yang kalian takuti? Cacing? Ular? Cecak? atau ayam?

Saya takut anjing dan tikus. Jika ditelusuri asal muasal ketakutan itu, mungkin dimulai sejak kecil. Walaupun tidak punya pengalaman traumatik, rasanya ingin kabur jika ada 2 makhuk itu minimal radius 5 meter dari saya.

Kalau dipikir-pikir, kasihan juga kepada hewan A dan T itu. Trademark mereka kurang elit. Anjing sering dijadikan kata-kata umpatan kasar bahkan ungkapan ekspresi. Mulai dari kata anjing, anjir, anjrot, dan modifikasi huruf a-n-j-i-n-g lainnya. Statusnya najis berat di dalam agama Islam. Kalaupun ada yang berbakti, paling banter jadi hewan pemburu dan pelacak. Sama halnya seperti tikus. Asosiasi hewan pengerat ini kerap dihubungkan dengan para koruptor, politikus dan profesi yang culas. Tak heran, dalam kehidupan kedua hewan ini dianggap mengganggu dan penyebar penyakit. Rabies dan leptospirosis contohnya.

Tapi nampaknya, saya tidak bisa mengelak bahwa di komplek asrama SMA Mosa banyak  mr. doggy. Kawanan hewan itu bebas berkeliaran dan sempat melonjak populasinya. Malam-malam anjing di Mosa juga suka melolong sendu, membuat suasana menjadi spooky. Siang hari bila lengah sedikit, Mr. doggy leluasa singgah bahkan sempat masuk ke barak. Jika sudah demikian, korvey sama’ barakpun dilakukan. Ritual menyiram lantai barak dengan 7x siraman air suci plus dicampur tanah ini minimal dilakukan 1 kali dalam setahun. Namun, sempat juga Barak Anggrek kecolongan karena teledor dengan pintu depan. Sama’ pun dilakukan lagi. Ga capek sih, karena dilakukan bersama-sama. Asal syaratnya suplai air cukup dan ada irisan waktu luang bersama antara penghuni asrama.

Tapi #CeritaPertama kali ini lebih spektakuler. Lagi-lagi terjadi di Barak Anggrek…

Saya masih kelas I dan itu terjadi di tahun 2001

Lepas makan siang sebelum prosus adalah waktu yang paling enak buat ngaso. Santai-santai sambil dengar walkman plus semilir angin dari kipas. Siang yang sempurna itu mendadak rusak.

“Ehm, bau apa ni? Menyengat kali! celetuk my room mate.

Iya..bau apa ya? Kami sekamar mulai selidik, mana tahu ada cicak terjepit di pintu. Nihil. Ya sudah, investigasi dihentikan karena baunya juga mendadak sirna.

Esoknya kehebohan terjadi. Salah seorang penghuni Anggrek shock berat setelah kembali dari tempat jemuran. Tak disangka, seekor anjing mati di sana. Kontan saja anak-anak penasaran. Semua ingin melihat walau sambil tahan napas. Saya juga ikutan mengintai dari jauh. Takut plus masih tidak percaya kenapa anjing itu mengakhiri hayatnya di sana.

Oh, ternyata mayat anjinglah penyebab aroma bau nan menusuk hidung. Saat itu tidak ada tindakan yang dilakukan selain mengeluh bau..bau..dan bau. Serba salah juga jadinya. Kita (penghuni barak) berharap ada Bang Neh yang mau mengeksekusi (menggubur) tapi tampaknya beliau sibuk.Hari-hari di barak yang harusnya menjadi tempat istirahat berubah 180 derajat menjadi tidak menyenangkan. Terbayang jika angin sepoi berhembus, maka yang paling sengsara duluan adalah kamar 9,8,7. Posisi kamar 2 Anggrek agak bagus, masih agak jauh dari TKP. Ibu asrama (bu Tawir) bahkan sudah menitahkan, tepatnya mengultimatum bahwa mayat anjing itu harus segera dikubur.

Nah lho! Masalahnya siapa yang mau melakukannya? Saya sebenarnya enggan, namun tidak mungkin juga melemparkan ke Barak mawar atau melati. Secara Mr. doggy nya tewas di wilayah teritorial barak Anggrek dan saya, sebagai ketua barak saat itu perlu mengambil tindakan segera. Hufff…

Setelah menggelar rapat intrernal barak, maka langkah eksekusipun dirancang. Petugas misi ini adalah 2 orang perwakilan dari tiap kamar. Alat-alat pendukung mulai dikumpulkan. Waktu pelaksanaan adalah hari Minggu pagi. Deal!

Hingga hari eksekusipun tampaknya tak ada bala bantuan dari kaum Adam :-(. Padahal saya ingat, beberapa abang kelas tiga suka berseuara miring jika melintas depan Barak Anggrek. Ihhh..Barak Anggrek bau! Tapi ya sudahlah, the show must go on.

Setelah menyiapkan diri, rombonganpun ke lokasi. Masya Allah..bangkai anjingnya besar sekali. Kayanya ini induknya. Posisinya masih utuh, kaku dengan mulut sedikit terbuka. Whhaaa..Baunya juga ga nahaaaann..Udah 4  harian bangkainya nganggur di situ. Isi perut saya sudah mulai bergejolak, namun saya berusaha bertahan. Rasa mual, takut bercampur jadi satu. Beberapa anggota tim yang tidak kuat langsung menyingkir. Maka langsung saja langkah pertama, menyiramkan minyak tanah ke mayat itu. Kata Bu Tawir, ini untuk menghilangkan baunya and it works!

Jamila, expert dalam hal cangkul-mencangkul langsung memainkan perannya. Cangkul yang cuma satu menyebabkan hanya Mila sendiri yang mengerjakan. Untungnya gadis ini cukup terlatih. Dalam sekejap lubang kira-kira ukuran 1m x 60 cm dengan kedalaman 70 cm sudah selesai.

Dan ini yang paling heboh. Acara menggiring bangkai itu ke dalam lubang. Kami menggunakan ranting-ranting pohon yang kokoh, mulai menyodok dari arah samping. Bayangkan, saat itu posisi saya hanya 1 m dari bangkai. Andai itu masih anjing hidup pasti saya tidak akan mau.

Bangkai anjingnya cukup berat, agak lama baru bergeser. Stik kayu kami ayunkan terus dengan semangat. Sedikit demi sedikit bangkai sudah mendekati lubang. Hup, 1 m..60 cm lagi..30 cm..Ayo terus kawan-kawan! Saya menyemangati tim. Bak menggiring bola ke gawang dan akhirnya..gol! Bangkainya masuk sempurna ke lubang. Huff, legalah kami semua. Mila pun melakukan tahap finishing dengan menimbun lubang hingga padat. Alhamdulillah, misi selesai!

Selesai dari prosesi tadi, saya belajar beberapa hal. 1. kematian akan menimpa semua makhluk hidup, dimanapun ia berada. 2. Pelaksanaan pemakaman harus diselenggarakan dengan cara baik dan secepatnya demi kesehatan (jika kasusnya hewan). 3. Saya menaklukkan rasa takut saya kepada anjing (walaupun sudah mati) 🙂

Itulah #CeritaPertama saya menggurusi pemakaman seekor makhluk Allah. Sampai jumpa di edisi #CeritaPertama berikutnya. Salam!

Imagenya disengajakan anjing lucu 🙂